Pages - Menu

Jumat, 28 Juni 2013

Rakit Bambu, Upaya Mengenalkan Loksado


Salah satu tim peserta Wisata Balanting Paring atau berakit bambu tengah mencoba melewati jeram sesaat setelah berangkat dari posisi start, di Sungai Amandit, Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu. Rakit bambu merupakan salah satu paket wisata yang ditawarkan untuk menikmati keindahan alam Loksado dengan cara menyusuri sisi sungai. | KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Awalnya, rakit bambu dikenal sebagai angkutan hasil kebun masyarakat Dayak Loksado di Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Namun, kini, rakit digunakan untuk wisata menyusuri sungai sambil menikmati keindahan alam di Pegunungan Meratus. Itulah yang dilakukan oleh 53 tim dari peserta rakit bambu (bamboo rafting), yang mengikuti Wisata Balanting Paring, yaitu menyusuri Sungai Amandit dengan rakit bambu.
Selain untuk memperingati hari jadi ke-62 pemerintahan kabupaten tersebut, acara yang digelar pada akhir Desember tahun lalu juga untuk mengangkat nama dan citra Loksado ke dunia luar.
Loksado merupakan kawasan bermukimnya suku Dayak Meratus, yang terletak di Hulu Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Kalsel). Kawasan di Pegunungan Meratus itu dikenal memiliki alam yang sangat indah, asri, dan masih alami.
”Lanting paring”
Dalam bahasa Banjar, lanting paring digunakan untuk menyebut sebuah rakit bambu, yang terdiri atas 16-20 batang bambu dengan panjang lebih dari 6 meter. Batang-batang bambu itu disatukan secara berjajar dan diikat dengan tali. Rakit bambu itu dinaiki lima penumpang ditambah seorang joki, yang berfungsi mengendalikan arah dan tujuan rakit bambu itu,
Joki yang berdiri di bagian depan rakit memegang peranan sangat penting. Sembari memegang galah sepanjang sekitar 3 meter, sang joki berusaha keras mengendalikan laju rakit agar bisa melintasi jeram dengan selamat. Adakalanya, joki harus melompat ke sungai guna mengarahkan ujung rakit agar bisa bermanuver di sela-sela bebatuan.
Namun, jadi joki tak bisa sembarangan. Ia juga harus tangkas. Tak jarang, saat di tengah perjalanan, bilah bambu yang diikat dengan tali untuk menyatukan bambu-bambu itu terputus akibat gesekan antara rakit dan bebatuan. Di sinilah peranan joki, yang harus terus menjaga agar bambu tidak tercerai-berai dan penumpangnya jatuh ke sungai. Dengan kedalaman sungai yang mencapai 3-4 meter, maka joki harus mampu membetulkan ikatan itu dengan tali baru.
Tak banyak yang tahu persis jarak yang ditempuh rakit bambu saat menyusuri Sungai Amandit. Biasanya mereka hanya hafal berdasarkan waktu. Misalnya, dari dekat terminal Loksado sampai daerah Tanuhi, jaraknya bisa ditempuh dalam waktu dua-tiga jam. Jika diukur lewat jalan darat jaraknya mencapai sekitar 8 kilometer.
Meski demikian, sepanjang perjalanan rakit bambu banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati. Tidak hanya bentang alam yang berbukit-bukit dan relatif masih hijau, tetapi juga aktivitas masyarakat Dayak yang juga menarik diamati, baik yang ada di perkampungan, ladang, maupun pinggir sungai.
Saat menyusuri sungai, wisatawan juga bisa melihat beragam vegetasi yang tumbuh di sepanjang aliran Sungai Amandit. Jika beruntung, mereka bisa melihat anggrek, baik yang tumbuh di tanah maupun batang pepohonan. Loksado dan Meratus ini memang dikenal sebagai habitat anggrek alam di Kalimantan.
Menurut Perhimpunan Anggrek Indonesia Kalsel, dari 4.000-an jenis tanaman anggrek di Indonesia, sebanyak 3.000-an di antaranya ada di Kalimantan. Dari jumlah 3.000-an anggrek tersebut, 1.000-an di antaranya berada di Kalsel, terutama di Pegunungan Meratus. Jenis anggrek tersebut di antaranya Phalaenopsis Cornu cervi (anggrek bulan gergaji) danGrammatophyllum Speciocum (anggrek tebu).
Beberapa jenis flora lainnya yang menjadi kekayaan Meratus adalah aneka rempah, seperti kemiri, kayu manis, cengkeh; buah-buah; dan karet. Loksado sendiri dikenal sebagai kawasan penghasil kayu manis di Kalsel. Aktivitas masyarakat saat memanen kayu manis dan karet juga cukup menarik jika dapat dilihat.
Setelah lepas dari wilayah Amandit, penumpang akan memasuki kawasan Loksado, yang masih menyimpan sejumlah kekayaan menarik lainnya. Di Tanuhi, misalnya, terdapat pemandian air panas yang bisa dinikmati sepanjang waktu. Di kawasan pegunungan yang berketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut itu, juga terdapat sejumlah air terjun meskipun tidak terlalu tinggi. Misalnya, Haratai, Riam Hanai, Rampah Menjangan, dan Kilat Api.
Bisa dijual
Suryani, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, mengatakan, kawasan Loksado juga memiliki potensi budaya berupa kegiatan masyarakat Dayak.
Di kawasan ini, terdapat 43 balai adat (rumah adat), yang terbesar adalah Balai Adat Malaris. ”Di sini, wisatawan bisa melihat aruh (upacara adat) jika kebetulan tepat waktunya, seperti saat panen,” katanya.
Aliansyah (30), salah seorang warga, menuturkan, jika ada wisatawan yang berminat naik rakit bambu, mereka bisa menyewakan ke warga. Uang sewanya Rp 250.000 untuk sekali jalan.
Uniknya, rakit bambu yang disewa untuk menyusuri sungai hingga ke hilir, nantinya tidak akan dibawa lagi ke hulu. Bambunya akan dijual kepada warga yang ada di hilir. Bambu itu akan digunakan untuk pagar bambu dan kurungan ayam. ”Harga jual bambunya Rp 20.000-Rp 25.000,” tambah Aliansyah. Kunjungan wisatawan di kawasan ini ramai pada bulan Agustus hingga akhir tahun.
Saat ini, paket wisata rakit bambu diakui tengah naik daun. Jasa wisata ini sebagian tak lagi dikelola oleh masyarakat secara sambilan. Sebagian dikelola secara profesional.
Maraknya paket wisata rakit bambu diikuti pula dengan tumbuhnya fasilitas bagi wisatawan lainnya. Fasilitas itu di antaranya fasilitas untuk penginapan para wisatawan. Saat ini, baru ada tiga penginapan. Tentu, hal itu belum cukup.
Persoalan lainnya, masalah infrastruktur jalan dan jembatan menuju Loksado juga masih perlu dibenahi. Kondisi jembatan di Tanuhi, misalnya, juga masih memprihatinkan. Begitu pula kendaraan angkutan bagi penumpang yang masih minim.
Sebagai daerah tujuan wisata, perkembangan Loksado tentu diharapkan juga membawa kemajuan dan kesejahteraan penduduknya. Namun, sudahkah itu semua terwujud?
Memang, belum semua masyarakat Dayak Loksado menikmati kesejahteraan itu. Kalaupun ada, itu baru segelintir orang. Tentu, jangan sampai seperti yang dikeluhkan tokoh masyarakat setempat, Sartono Petrus, ”Masyarakat cuma jadi penonton."

Sumber : Kompas Cetak
Editor : I Made Asdhiana




Tidak ada komentar:

Posting Komentar