Salah satu tim peserta
Wisata Balanting Paring atau berakit bambu tengah mencoba melewati jeram sesaat
setelah berangkat dari posisi start, di Sungai Amandit, Loksado, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu. Rakit bambu merupakan
salah satu paket wisata yang ditawarkan untuk menikmati keindahan alam Loksado
dengan cara menyusuri sisi sungai. | KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Awalnya,
rakit bambu dikenal sebagai angkutan hasil kebun masyarakat Dayak Loksado di
Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Namun, kini,
rakit digunakan untuk wisata menyusuri sungai sambil menikmati keindahan alam
di Pegunungan Meratus. Itulah yang dilakukan oleh 53 tim dari peserta rakit
bambu (bamboo rafting), yang
mengikuti Wisata Balanting Paring, yaitu menyusuri Sungai Amandit dengan rakit
bambu.
Selain
untuk memperingati hari jadi ke-62 pemerintahan kabupaten tersebut, acara yang
digelar pada akhir Desember tahun lalu juga untuk mengangkat nama dan citra
Loksado ke dunia luar.
Loksado
merupakan kawasan bermukimnya suku Dayak Meratus, yang terletak di Hulu Sungai
Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Kalsel). Kawasan di
Pegunungan Meratus itu dikenal memiliki alam yang sangat indah, asri, dan masih
alami.
”Lanting
paring”
Dalam
bahasa Banjar, lanting paring digunakan untuk menyebut sebuah rakit bambu, yang
terdiri atas 16-20 batang bambu dengan panjang lebih dari 6 meter.
Batang-batang bambu itu disatukan secara berjajar dan diikat dengan tali. Rakit
bambu itu dinaiki lima penumpang ditambah seorang joki, yang berfungsi
mengendalikan arah dan tujuan rakit bambu itu,
Joki yang
berdiri di bagian depan rakit memegang peranan sangat penting. Sembari memegang
galah sepanjang sekitar 3 meter, sang joki berusaha keras mengendalikan laju
rakit agar bisa melintasi jeram dengan selamat. Adakalanya, joki harus melompat
ke sungai guna mengarahkan ujung rakit agar bisa bermanuver di sela-sela
bebatuan.
Namun,
jadi joki tak bisa sembarangan. Ia juga harus tangkas. Tak jarang, saat di
tengah perjalanan, bilah bambu yang diikat dengan tali untuk menyatukan
bambu-bambu itu terputus akibat gesekan antara rakit dan bebatuan. Di sinilah
peranan joki, yang harus terus menjaga agar bambu tidak tercerai-berai dan
penumpangnya jatuh ke sungai. Dengan kedalaman sungai yang mencapai 3-4 meter,
maka joki harus mampu membetulkan ikatan itu dengan tali baru.
Tak banyak
yang tahu persis jarak yang ditempuh rakit bambu saat menyusuri Sungai Amandit.
Biasanya mereka hanya hafal berdasarkan waktu. Misalnya, dari dekat terminal
Loksado sampai daerah Tanuhi, jaraknya bisa ditempuh dalam waktu dua-tiga jam.
Jika diukur lewat jalan darat jaraknya mencapai sekitar 8 kilometer.
Meski
demikian, sepanjang perjalanan rakit bambu banyak pemandangan indah yang bisa
dinikmati. Tidak hanya bentang alam yang berbukit-bukit dan relatif masih
hijau, tetapi juga aktivitas masyarakat Dayak yang juga menarik diamati, baik
yang ada di perkampungan, ladang, maupun pinggir sungai.
Saat
menyusuri sungai, wisatawan juga bisa melihat beragam vegetasi yang tumbuh di
sepanjang aliran Sungai Amandit. Jika beruntung, mereka bisa melihat anggrek,
baik yang tumbuh di tanah maupun batang pepohonan. Loksado dan Meratus ini
memang dikenal sebagai habitat anggrek alam di Kalimantan.
Menurut
Perhimpunan Anggrek Indonesia Kalsel, dari 4.000-an jenis tanaman anggrek di
Indonesia, sebanyak 3.000-an di antaranya ada di Kalimantan. Dari jumlah
3.000-an anggrek tersebut, 1.000-an di antaranya berada di Kalsel, terutama di
Pegunungan Meratus. Jenis anggrek tersebut di antaranya Phalaenopsis
Cornu cervi (anggrek
bulan gergaji) danGrammatophyllum
Speciocum (anggrek
tebu).
Beberapa
jenis flora lainnya yang menjadi kekayaan Meratus adalah aneka rempah, seperti
kemiri, kayu manis, cengkeh; buah-buah; dan karet. Loksado sendiri dikenal
sebagai kawasan penghasil kayu manis di Kalsel. Aktivitas masyarakat saat
memanen kayu manis dan karet juga cukup menarik jika dapat dilihat.
Setelah
lepas dari wilayah Amandit, penumpang akan memasuki kawasan Loksado, yang masih
menyimpan sejumlah kekayaan menarik lainnya. Di Tanuhi, misalnya, terdapat
pemandian air panas yang bisa dinikmati sepanjang waktu. Di kawasan pegunungan
yang berketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut itu, juga terdapat
sejumlah air terjun meskipun tidak terlalu tinggi. Misalnya, Haratai, Riam
Hanai, Rampah Menjangan, dan Kilat Api.
Bisa dijual
Suryani,
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Hulu Sungai Selatan,
mengatakan, kawasan Loksado juga memiliki potensi budaya berupa kegiatan
masyarakat Dayak.
Di kawasan
ini, terdapat 43 balai adat (rumah adat), yang terbesar adalah Balai Adat
Malaris. ”Di sini, wisatawan bisa melihat aruh (upacara adat) jika kebetulan
tepat waktunya, seperti saat panen,” katanya.
Aliansyah
(30), salah seorang warga, menuturkan, jika ada wisatawan yang berminat naik
rakit bambu, mereka bisa menyewakan ke warga. Uang sewanya Rp 250.000 untuk
sekali jalan.
Uniknya,
rakit bambu yang disewa untuk menyusuri sungai hingga ke hilir, nantinya tidak
akan dibawa lagi ke hulu. Bambunya akan dijual kepada warga yang ada di hilir.
Bambu itu akan digunakan untuk pagar bambu dan kurungan ayam. ”Harga jual
bambunya Rp 20.000-Rp 25.000,” tambah Aliansyah. Kunjungan wisatawan di kawasan
ini ramai pada bulan Agustus hingga akhir tahun.
Saat ini,
paket wisata rakit bambu diakui tengah naik daun. Jasa wisata ini sebagian tak
lagi dikelola oleh masyarakat secara sambilan. Sebagian dikelola secara
profesional.
Maraknya
paket wisata rakit bambu diikuti pula dengan tumbuhnya fasilitas bagi wisatawan
lainnya. Fasilitas itu di antaranya fasilitas untuk penginapan para wisatawan.
Saat ini, baru ada tiga penginapan. Tentu, hal itu belum cukup.
Persoalan
lainnya, masalah infrastruktur jalan dan jembatan menuju Loksado juga masih
perlu dibenahi. Kondisi jembatan di Tanuhi, misalnya, juga masih
memprihatinkan. Begitu pula kendaraan angkutan bagi penumpang yang masih minim.
Sebagai
daerah tujuan wisata, perkembangan Loksado tentu diharapkan juga membawa
kemajuan dan kesejahteraan penduduknya. Namun, sudahkah itu semua terwujud?
Memang,
belum semua masyarakat Dayak Loksado menikmati kesejahteraan itu. Kalaupun ada,
itu baru segelintir orang. Tentu, jangan sampai seperti yang dikeluhkan tokoh
masyarakat setempat, Sartono Petrus, ”Masyarakat cuma jadi penonton."
Sumber : Kompas Cetak
Editor : I Made Asdhiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar